Pulau Kabaena Dihantam Krisis Lingkungan Akibat Tambang Nikel
Isu krisis lingkungan di Kabaena, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, mencuat dalam forum internasional OECD Forum on Responsible Mineral Supply Chains yang berlangsung di Paris pada 5–7 Mei 2025. Perwakilan Satya Bumi, LSM lokal Sagori, serta organisasi internasional Fern dan Rainforest Foundation Norway (RFN), hadir dan menyampaikan keprihatinan global.
Dalam sesi EU Electric Vehicle Targets, Satya Bumi memaparkan bahwa Pulau Kabaena menghadapi kerusakan parah akibat ekspansi industri nikel. Tambang tersebut menyuplai bahan baku untuk kendaraan listrik.
Pulau Kecil, Konsesi Tambang Besar
Pulau Kabaena memiliki luas hanya 891 km². Namun, sebanyak 15 Izin Usaha Pertambangan (IUP) menguasai sekitar 655 km² wilayah konsesi. Akibatnya, hutan pun hilang. Dalam 20 tahun terakhir, deforestasi mencapai 3.374 hektare, termasuk 24 hektare hutan lindung.
Hayaa dari Satya Bumi menyampaikan langsung di forum:
“Apakah benar bijih nikel dari negara kami digunakan untuk transisi energi, bukan untuk mendukung perang atau pendudukan?”
Pencemaran dan Dampak Kesehatan
Riset Satya Bumi mengungkap pencemaran logam berat di laut sekitar Kabaena. Logam seperti nikel, arsen, merkuri, dan timbal ditemukan dalam air dan kerang. Masyarakat tak bisa lagi mengonsumsi hasil laut.
Tes urine warga menunjukkan kadar nikel hingga 36,07 mikrogram per liter—di atas ambang normal. Warga menderita gangguan pernapasan, kanker, hingga kebutaan sebagian. Sayangnya, perusahaan tambang jarang memperhatikan hal ini.
Desakan untuk Transisi Energi yang Adil
Organisasi masyarakat sipil menyerukan agar rantai pasok mineral global lebih transparan. Satya Bumi menekankan pentingnya menghormati hak warga lokal.
“Yang paling diuntungkan dari industri ini justru sering abai terhadap dampaknya,” tegas Hayaa.
Kesimpulan: Dunia Harus Dengar Suara Kabaena
Isu krisis lingkungan di Kabaena menjadi contoh nyata bahwa transisi energi hijau tidak selalu bersih.